Selasa, 21 Juni 2011

Akreditasi, Prestise Sekolah




Akreditasi owh akreditasi....namanya sepertinya ada unsur intelek, cerdas, modern, tapi jujur, saya tak suka. Mungkin kalau akreditasi itu sosok manusia, dia adalah orang yang terlihat parlente. Hampir semua orang akan menyanjung-nyanjung. Demi mendapatkan perhatiannya akan melakukan apa saja. Akan tetapi, akreditasi bukanlah sosok manusia. Akreditasi sekolah/madrasah adalah kegiatan penilaian (asesmen) sekolah/madrasah secara sistematis dan komprehensif melalui kegiatan evaluasi diri dan evaluasi eksternal (visitasi) untuk menentukan kelayakan dan kinerja sekolah/madrasah.. (bukan saya yang mengartikan-red).

Setiap madrasah yang diakreditasi, akan memperoleh nilai. Saya yakin, tiap sekolah menginginkan nilai akreditasinya yang terbaik. A, minimal B.Untuk mendapatkan nilai A, ada banyak hal yang harus disiapkan oleh sekolah. Dari juknis akreditasi SD/MI, ada 157 point penilaian, yang terdiri dari 8 standar. Berhubung madrasah tempat saya mengajar saat ini akan akreditasi di awal tahun ajaran baru ini, maka saya mau tidak mau dan harus mau untuk mempelajari tentang akreditasi ini. Tak sekadar mempelajarinya, namun juga harus menyiapkan segala sesuatunya untuk akreditasi. Seperti halnya madrasah pada umumnya, menginginkan nilai akreditasi A, meskipun hati saya seringkali bertanya, kenapa harus A? Kenapa harus mengejar nilai akreditasi A??? karena sekolah yang mendapat nilai akreditasi A berarti sekolah yang bagus? Apakah sekolah yang bagus berarti sekolah yang berhasil dalam mendidik anak-anak didiknya?


Ada rasa yang menggores hati. Mengamati satu per satu point penilaian akreditasi. Setiap unsur penilaian dibutuhkan bukti-bukti. Bukti didapatkan dari bukti fisik berupa catatan-catatan administrasi, wawancara, pengamatan dan sebagainya, tapi ketika saya amati, betapa banyaknya bukti administrasinya. Memang sebuah keteraturan kinerja instansi dapat dilihat dari catatan administrasinya. Saya setuju dengan kerapian administrasi. Akan tetapi, apakah untuk mengejar nilai A, harus membuat tipuan-tipuan administrasi. Sesuatu yang tiada tiba-tiba diadakan. Misalnya, pada bagian standar isi, tentang KTSP, ada syarat ada workshop, review dan revisi yang melibatkan berbagai pihak, termasuk komite. Buktinya dengan adanya notulen, daftar hadir, berita acara, dan draft KTSP. Berhubung komite tidak tau apa-apa, dan untuk meringkas kerja penyusunan KTSP, cukuplah sekali mengundang pembicara, kemudian dibahas guru-guru. Karena akreditasi, maka dibuatlah notulensi, berita acara buatan, dsb yang menunjukkan bahwa komite ikut terlibat dalam penyusunan KTSP. Deuuhhhhhhhhhhhh.

Ada lagi tentang standar kelulusan, demi mengejar nilai akreditasi, maka syarat KKM (Kriteria Ketuntasan Minimal, nilai minimal yang harus didapat siswa agar dapat dikatakan berhasil dalam belajar-red) 7,5 . Maka dibuatlah KKM dengan nilai seperti itu. Dengan menetapkan KKM mata pelajaran 7,5 berarti, ukuran berhasilnya pembelajaran di sekolah adalah nilai yang didapat peserta didik 7,5. Bagi anak-anak yang nilainya di bawah KKM, maka akan remidi, sehingga mendapatkan nilai minimal sama dengan KKM. Bila berulang kali tidak mencapai KKM, maka solusinya adalah memberikan soal semudah-mudahnya bagi siswa, asal nilainya menjadi baik. Kalau murid tak bisa mencapai juga, jangan-jangan disuruh pindah sekolah. Karena pernah saya mendengar cerita dari seorang guru. Di sebuah sekolah, seorang kepala sekolah menyuruh muridnya untuk keluar, atau pindah saja dari sekolah itu, karena dianggap telah menjatuhkan nama baik sekolah. Duh, geram rasanya mendengar cerita itu. Andai saya ada disitu mungkin akan saya jawab, lha buat apa anak itu sekolah? Anak belajar di sekolah supaya jadi cerdas. Bukan sekadar menjawab soal dan mendapat nilai yang dianggap baik oleh guru. Kalau dia sudah pintar, gak perlu sekolah lagi. Iki piye ta????? Deeuuuhhhhh
Masih ada kaitan dengan nilai. Untuk siswa kelas VI, maka nilai Ujian Nasional sangat menentukan prestise sekolah. Sekolah yang bisa meluluskan anak didiknya 100% dianggap berhasil dalam mendidik. Sekolah yang terdapat anak yang tidak lulus, atau nilainya jelek, dianggap kurang berhasil. Karena pandangan semacam ini, seringkali dijumpai, adanya kecurangan dalam ujian nasional. Cerita dari teman saya, ketika menjadi pengawas, mendapatkan "nasihat" dari kepala sekolah tempat ia bertugas, yang intinya diminta "jangan terlalu keras kepada anak-anak, anggap seperti anak sendiri". Itu adalah bahasa halusnya. Aslinya, biarkan anak-anak saling menyontek. Jangan dicatat dalam berita acara. Bahkan telah menjadi rahasia umum pula, di sekolah dibentuk tim sukses ujian nasional, yang bertugas untuk memberikan bocoran, atau meminta anak-anak yang dianggap cerdas untuk "membantu" kawannya, "menyelamatkan" kawannya di ujian nasional. Tak hanya berhenti di situ. Di tahun ajaran 2010/2011 ini, ketentuan kelulusan turut memperhitungkan nilai rapot, ditambah nilai ujian sekolah, dan nilai ujian nasional. Nilai rapot tak dapat diubah. Nilai ujian nasional didapat dari pengkoreksian pusat. Maka jalan satu-satunya untuk "membantu" murid-murid adalah dengan katrol nilai pada ujian sekolah. Terheran-heran saya karena anehnya institusi pendidikan di negeri ini. Selama 6 tahun, guru mengatakan kepada anak-anak, untuk jujur, tapi di akhir menjelang kelulusan anak didiknya.......... ya seperti itulah. Legalisasi kebohongan dan kecurangan. Demi prestise. Bila guru mengajarkan kebaikan akan menjadi amal jariyah, lantas bagaimana bila guru mengajarkan keburukan?????

Karena "kebijakan-kebijakan" aneh di dalam institusi pendidikan ini, pernah kepala sekolah dan guru-guru di tempat saya mengajar mengatakan, lha daripada ngatrol dan membantu anak-anak dalam menjawab soal, kenapa tidak sekalian saja soalnya dikerjakan gurunya, atau tidak perlu ada ujian nasional. Anak-anak sudah stress karena khawatir tidak lulus, tapi kemudian kecurangan dilakukan oleh gurunya sendiri. Demi prestise dan "nama baik" sekolah.

Melihat fenomena-fenomena kebobrokan pendidikan di negeri ini, darimanakah aku bisa memulai untuk perbaikan????

3 komentar:

  1. Kritikan : tulisannya melelahkan mata bacanya. gk ada gambarnya po? biar enjoy kalo baca.

    BalasHapus
  2. Menurutku, dari menjelaskan ketidaksetujuan2 kita kepada para guru.
    Semampu kita, dengan bahasa halus, jelas, mudah dimengerti, dengan cara santun,komunikasikan berbagai ketidaksetujuan tersebut dengan para pihak terkait, mulai dengan guru sebagai lingkungan terdekat dan yang paling kompeten thd pendidikan.

    Nyatakan dengan tegas bahwa ibadah kita ternoda kalau harus karang-karang administrasi, lebih baik waktu dan tenaga kita gunakan untuk mendidik anak lebih optimal.

    Mintalah tanggapan dia ttg kaitan kondisi tersebut dengan posisi kita sebagai guru yang berusaha mengamalkan agama dengan baik, rundingkan apa yang seharusnya dilakukan oleh para guru selaku pendidik dan penyeru melihat kondisi tersebut.
    PAHAMI APA YANG MEMBUAT MEREKA BERANI MELAKUKAN TIPU-TIPUAN DEMI ASESORIS TERSEBUT, PAHAMI APA YANG TIDAK BERES DAN PERLU DIUBAH, RENCANAKAN TAHAPAN PERUBAHAN DENGAN AKTIVITAS PENDUKUNGNYA.
    Sudah bukan saatnya lagi terlalu banyak basa-basi karena hanya membuat sulit dimengerti.
    Tetap tunjukkan bahwa kita sangat menyayangi kawan-kawan guru, bersedia membantu semampu kita, sejauh itu mendidik dan dalam rel kebenaran yang berorientasi pada kebaikan siswa sebagai pertimbangan yang utama.

    Just input.
    Lakukan yang terbaik yang mungkin kita lakukan.

    Selamat bekerja !
    Insya Allah Dia selalu membimbing langkah kita.

    Assalamu'alaikum.

    BalasHapus
  3. @design 2011 : terima kasih atas masukannya. Ini yang nulis tadi malam juga sudah lelah matanya, mau upload gambar untuk accessories sudah pingin menutup mata :D

    @Gedong Wilis : matur nuwun juga sarannya. Semoga mampu kulakukan sekuat tenaga untuk perbaikan negeri ini. Terima kasih pula untuk do'a-do'a nya :)

    BalasHapus