Apakah ini jenis virus baru? Bukan. Ini sebenarnya bukan varian baru. Tapi virus ini memiliki kemampuan merusak yang hebat. Tapi sayangnya banyak orang yang tidak tau. Meskipun sudah terkena serangan, tetap saja tidak menyadari kalau sudah terinfeksi.
Seperti apakah virus ini? Bagaimana cara kerjanya? Sehingga bisa dikategorikan sebagai virus yang membahayakan. Tapi kenapa berhadiah? Memangnya ada ya virus yang memberikan hadiah? Jawabannya : ADA . Yang terkena virus ini akan mendapat hadiah bila berhasil.
Virus diidentikan dengan sesuatu yang merusak ataupun mengganggu kinerja. Bagi sebagian besar orang, mengikuti sebuah kompetisi ataupun perlombaan adalah sesuatu yang menantang. Siapa yang bisa memenangkan dialah sebagai juaranya. Siapa yang menjadi juara, dialah yang dinilai yang terbaik.
Mungkin sudah menjadi kecenderungan manusia. Ingin tampak lebih paling baik di hadapan manusia. Untuk itu, kadangkala butuh suatu alat ukur. Salah satu cara untuk mengukur ”seberapa baiknya” di hadapan manusia adalah dengan membandingkan, kompetisi atau perlombaan itu. Dengan adanya perlombaan tentu akan ada pengakuan atau legalitas atas ”kebaikan” itu. Dan akhirnya secara umum orang akan menilai pemenang lomba adalah yang terbaik.
Lho apakah salah mengukur seberapa baik diri kita dengan lomba? Tentu tidak. Bila tujuan mengikuti adalah memang untuk mengukur. Dari sana akan tau seberapa nilai diri dan apa yang harus diperbaiki. Lantas memperbaikinya. Dan memang demikianlah seharusnya tujuan mengikuti lomba. Namun bagaimana bila mengikuti lomba adalah bertujuan meraih pengakuan ”yang terbaik”, sehingga akan melakukan segala cara untuk mendapatkan penilaian yang tinggi. Tidak memperhatikan lagi apakah caranya sportif, apakah caranya benar, apakah caranya tidak melanggar etika atau norma. Yang penting menjadi JUARA.
Dan sangat ironis. Ketika instansi pendidikan yang dikenal sebagai tempat mendidik generasi masa depan, memiliki pandangan bahwa sekolah yang baik adalah sekolah yang banyak meraih kejuaraan. Alhasil, parameter keberhasilan sekolah adalah semakin banyaknya penghargaan kejuaraan. Bagi saya, ini bukanlah sesuatu hal yang lumrah. Namun parah. Sesuatu yang dapat merusak. Inilah yang saya katakan sebagai virus berhadiah. Sesuatu yang tak baik namun mendatangkan hadiah. Dan sepertinya inilah yang sering terjadi saat ini. Dahulu yang saya ketahui, tujuan diadakan lomba adalah memotivasi. Dengan diadakan lomba, maka akan saling termotivasi memperbaiki diri. Bagi yang kalah maka akan berusaha meniru hal-hal yang baik dari yang menang. Dan bagi yang menang, dia harus belajar untuk tidak sombong. Namun apakah kondisi saat ini masih seperti itu?
Mungkin ketika pembaca membaca tulisan ini kurang sepakat. Bagaimana mungkin Lomba dikatakan sebagai virus berhadiah. Tak masalah. Namanya juga pendapat. Beda pendapat kan boleh. ^_^
Saya mengatakan gejala ini sebagai suatu yang merusak, karena betapa sering terjadi upaya-upaya tak jujur untuk meraih kejuaraan. Apalagi model perlombaan yang sangat mempertimbangkan adminstrasi sebagai unsur terbesar penilaian lomba. Dalam keadministrasian, sesuatu yang tak ada akan diadakan dengan mudah. (Pengalaman pribadi. He7). Misalnya SK. Atau surat keputusan kepala sekolah. Yang saya ketahui ketika dulu kuliah tentang administrasi, surat dibuat berdasarkan tanggal pembuatan surat. Sehubungan dengan lomba, maka dibuatlah surat keputusan sekarang, tertanggal ”masa lalu”. Contoh lain, ketika yuri mengajukan pertanyaan kepada pihak sekolah, mengenai peranan komite. Karena demi kejuaraan, maka pihak sekolah menjawab bahwa komite sangat berperan, perhatian dan sering memberikan saran kepada sekolah.
Ini hanyalah dua contoh saja. Dan mungkin dipandang bukan dosa besar. Seorang guru bukanlah hakim yang memutuskan benar dan salah, tapi hati saya rasanya sedih. Bagaimana mungkin saya sebagai seorang guru ketika di kelas melarang anak-anak mencontek. Karena mencontek itu berarti berbohong. Sementara gurunya sendiri melakukan kebohongan. Bagaimana mungkin seseorang memberi bila ia sendiri tak punya. Bagaimana mungkin seorang guru mampu memberikan contoh kejujuran , kalau ia sendiri tak jujur.
Akankah ”Sekolah yang bagus adalah sekolah yang sering juara” menjadi tolok ukur dalam pendidikan kita? Tapi rasanya masih saja penilaian semacam itulah yang dipakai oleh masyarakat kita. Bila model penilaian itu tak layak, lantas bagaimana seharusnya? Tunggu episode selanjutnya............ ^_^
Seperti apakah virus ini? Bagaimana cara kerjanya? Sehingga bisa dikategorikan sebagai virus yang membahayakan. Tapi kenapa berhadiah? Memangnya ada ya virus yang memberikan hadiah? Jawabannya : ADA . Yang terkena virus ini akan mendapat hadiah bila berhasil.
Virus diidentikan dengan sesuatu yang merusak ataupun mengganggu kinerja. Bagi sebagian besar orang, mengikuti sebuah kompetisi ataupun perlombaan adalah sesuatu yang menantang. Siapa yang bisa memenangkan dialah sebagai juaranya. Siapa yang menjadi juara, dialah yang dinilai yang terbaik.
Mungkin sudah menjadi kecenderungan manusia. Ingin tampak lebih paling baik di hadapan manusia. Untuk itu, kadangkala butuh suatu alat ukur. Salah satu cara untuk mengukur ”seberapa baiknya” di hadapan manusia adalah dengan membandingkan, kompetisi atau perlombaan itu. Dengan adanya perlombaan tentu akan ada pengakuan atau legalitas atas ”kebaikan” itu. Dan akhirnya secara umum orang akan menilai pemenang lomba adalah yang terbaik.
Lho apakah salah mengukur seberapa baik diri kita dengan lomba? Tentu tidak. Bila tujuan mengikuti adalah memang untuk mengukur. Dari sana akan tau seberapa nilai diri dan apa yang harus diperbaiki. Lantas memperbaikinya. Dan memang demikianlah seharusnya tujuan mengikuti lomba. Namun bagaimana bila mengikuti lomba adalah bertujuan meraih pengakuan ”yang terbaik”, sehingga akan melakukan segala cara untuk mendapatkan penilaian yang tinggi. Tidak memperhatikan lagi apakah caranya sportif, apakah caranya benar, apakah caranya tidak melanggar etika atau norma. Yang penting menjadi JUARA.
Dan sangat ironis. Ketika instansi pendidikan yang dikenal sebagai tempat mendidik generasi masa depan, memiliki pandangan bahwa sekolah yang baik adalah sekolah yang banyak meraih kejuaraan. Alhasil, parameter keberhasilan sekolah adalah semakin banyaknya penghargaan kejuaraan. Bagi saya, ini bukanlah sesuatu hal yang lumrah. Namun parah. Sesuatu yang dapat merusak. Inilah yang saya katakan sebagai virus berhadiah. Sesuatu yang tak baik namun mendatangkan hadiah. Dan sepertinya inilah yang sering terjadi saat ini. Dahulu yang saya ketahui, tujuan diadakan lomba adalah memotivasi. Dengan diadakan lomba, maka akan saling termotivasi memperbaiki diri. Bagi yang kalah maka akan berusaha meniru hal-hal yang baik dari yang menang. Dan bagi yang menang, dia harus belajar untuk tidak sombong. Namun apakah kondisi saat ini masih seperti itu?
Mungkin ketika pembaca membaca tulisan ini kurang sepakat. Bagaimana mungkin Lomba dikatakan sebagai virus berhadiah. Tak masalah. Namanya juga pendapat. Beda pendapat kan boleh. ^_^
Saya mengatakan gejala ini sebagai suatu yang merusak, karena betapa sering terjadi upaya-upaya tak jujur untuk meraih kejuaraan. Apalagi model perlombaan yang sangat mempertimbangkan adminstrasi sebagai unsur terbesar penilaian lomba. Dalam keadministrasian, sesuatu yang tak ada akan diadakan dengan mudah. (Pengalaman pribadi. He7). Misalnya SK. Atau surat keputusan kepala sekolah. Yang saya ketahui ketika dulu kuliah tentang administrasi, surat dibuat berdasarkan tanggal pembuatan surat. Sehubungan dengan lomba, maka dibuatlah surat keputusan sekarang, tertanggal ”masa lalu”. Contoh lain, ketika yuri mengajukan pertanyaan kepada pihak sekolah, mengenai peranan komite. Karena demi kejuaraan, maka pihak sekolah menjawab bahwa komite sangat berperan, perhatian dan sering memberikan saran kepada sekolah.
Ini hanyalah dua contoh saja. Dan mungkin dipandang bukan dosa besar. Seorang guru bukanlah hakim yang memutuskan benar dan salah, tapi hati saya rasanya sedih. Bagaimana mungkin saya sebagai seorang guru ketika di kelas melarang anak-anak mencontek. Karena mencontek itu berarti berbohong. Sementara gurunya sendiri melakukan kebohongan. Bagaimana mungkin seseorang memberi bila ia sendiri tak punya. Bagaimana mungkin seorang guru mampu memberikan contoh kejujuran , kalau ia sendiri tak jujur.
Akankah ”Sekolah yang bagus adalah sekolah yang sering juara” menjadi tolok ukur dalam pendidikan kita? Tapi rasanya masih saja penilaian semacam itulah yang dipakai oleh masyarakat kita. Bila model penilaian itu tak layak, lantas bagaimana seharusnya? Tunggu episode selanjutnya............ ^_^