Minggu, 20 Maret 2011

Agar Tak Sekadar Pintar

Pintar saja tak cukup. Itu menurut saya. Seperti yang telah saya tulis sebelumnya. Lebih beruntung orang yang bisa “memintarkan”, mencerdaskan. Mungkin tak perlu lagi saya tulis di sini kenapa lebih beruntung orang yang bisa mencerdaskan. Agar beruntung, jangan sekadar pintar. Naikkan kualitas diri agar bisa mencetak orang-orang yang cerdas. Bagaimana caranya? Ajarkan kepintaran kita. Dan tak sekadar mengajarkan saja. Asal kita sampaikan. Tentunya agar lebih BERNILAI, orang yang kita ajari harus bisa paham, bisa mengamalkan bahkan bisa terus menularkan. Bagi seorang guru, berusaha agar muridnya paham, bahkan suatu saat bisa menciptakan karya-karya hebat. Disinilah kita perlu strategi yang jitu, agar apa yang kita sampaikan mudah diterima, mudah dipahami oleh murid .

  • Gunakan Bahasa yang Mudah Dipahami

    ”Tidak kami utus seorang rasul kecuali ia harus menjelaskan dengan bahasa kaumnya”(QS.Ibrahim:4)

    Seorang Rosul, yang memiliki sifat fathonah, diperintahkan untuk menyampaikan dengan bahasa kaumnya. Dengan bahasa yang mudah dipahami oleh kaumnya. Kita memang bukan rosul, tapi kita diperintahkan untuk mengikuti Rosulullah bukan?
    Dalam da’wah ada pula kaidah “ berbicaralah dengan bahasa kaummu”
    Sebagai seorang guru (semua orang yang ingin menularkan ilmu), hendaknya menggunakan bahasa yang mudah dipahami. Mengajar anak-anak seusia SD tentu berbeda dengan mengajar orang dewasa. Selain itu, tiap orang juga berbeda cara dan kemampuan untuk memahaminya. Ketika di suatu kelas, berkumpullah berbagai orang dengan berbagai keadaanya. Maka, kadangkala (sepertinya tidak sekedar kadangkala, tapi sering he he he) kita memperlakukan cara yang berbeda untuk mengajar. Ada yang cepat menangkap apa yang kita maksud hanya dengan sekilas kita menjelaskan. Ada yang mudah memahami manakala kita memberikan analogi atau perumpaan. Ada pula yang harus dengan pelan-pelan, didekati, diberi waktu khusus untuk memahamkan. Maka, kenalilah siapa orang yang kita ajar.
    Mungkin yang kita ajari lebih mudah paham manakala kita sampaikan dengan semangat meledak-ledak. Namun, bisa pula dengan cara yang pelan perlahan-lahan. Tak ada salah, sebagai guru kita terus belajar ilmu komunikasi.


  • Lembutkan Hati

    “Sekiranya engkau bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu.” (Ali ‘Imran:159)


    Tulisan itu ayat dari Al-Qur’an, bukan perkataan saya. Namun kalam dari Pencipta Alam Semesta. Yang Maha Mengetahui akan apa yang Dia cipta.
    Mungkinkah hati yang keras dan kasar mudah menyampaikan ilmunya? Bagaimana bisa, apa yang kita sampaikan didengar, dipahami. Lha wong mereka malah menjauh dari kita. Bukankah Rosulullah SAW telah memberikan contoh, orang yang lembut hati akan mudah berkomunikasi, memahami lawan bicaranya, sekalipun tak menguasai bahasa yang diucapkan. Bukankah anak-anak yang dalam keadaan ceria dan riang akan lebih betah dengan guru yang penyayang? Dan tatkala hati senang, apa yang disampaikan lebih mudah pahami dibandingkan saat hati diliputi ketakutan (karena gurunya seram he he he)?


  • Dekatkan Diri Pada Pemilik Hati

    Rasanya malu sekali tatkala saya ngobrol dengan rekan kuliah malam, seorang Guru yang diamanahi mengajar kelas VI. Banyak sekali kerjaan di sekolah yang beliau lakukan. Apalagi guru kelas VI, membuat beragam media pembelajaran berbasis IT, membuat administrasi sertifikas, tuntutan membuat PTK (Penelitian Tindakan Kelas), dll. Beliau cukupkan diri untuk tidur antara 2-3 jam. Dan dengan entengnya saya komentari “kenapa cuma sebentar pak?”. Beliau menjawab “ Demi anak-anak mbak. Sebagai guru, saya ingin mereka berhasil. Minta sama siapa kalo tidak sama Gusti Allah? Walau di tengah malam, juga akan dilakukan.” Hiksssssssssssss uisin.......... benar-benar malu..... :”>
    Allah Yang Menguasai Hati. Guru tak sekadar mengajar ilmu, tapi juga mendidik. Menasihati anak didik seringkali dibutuhkan. Tepatlah bila mengadu, meminta dibukakan hati agar mudah menerima apa yang kita katakan pada anak didik pada pemilih hati sesungguhnya. Memohonkan kemudahan bagi anak didik kita dalam menuntut ilmu pada Pemilik Hati.
    Seringkali tanpa sadar malah ngomentari si X itu nakale puolllll, si Z ....................
    Astaghfirullah............. kenapa tak mendoakan saja ya. Bukankah da’wah itu tidak pernah dibatasi di dalam masjid. Bukankah di setiap aktivitas dimana kita menyerukan pada kebaikan adalah da’wah? Tak ada salah bahkan memang seharusnya kita memohonkan do’a padaNya untuk kebaikan anak-anak didik kita?
    Mereka tak paham karena mungkin mereka tak mendengar, atau mungkin karena lupa. Mungkin perkataan kita tidak mereka dengar , karena memang tiada berbobot dan tiada berkesan. Berarti bukan kesalahan mereka bukan manakala mereka tak bisa???



Ini hanyalah sekadar corat-coretan cah ngglidig,bukan seorang pakar ahli. Semoga tetap bermanfaat. Tak sekadar untuk guru, dosen yang mengajar di ruangan, tapi untuk siapapun yang ingin berbagi ilmu. Untuk siapapun yang ingin negeri ini maju.Untuk siapapun yang ingin dirinya bermanfaat bagi orang banyak. Untuk siapapun yang tak ingin sekadar pintar, tapi memintarkan, mencerdaskan. Tak sekadar pinter, nanging minterke

Kembali teringat ............
semua orang, guru
semua tempat, sekolah

4 komentar:

  1. Simbah berkata " Le, dadi wong pinter kui apek, tapi luwih apek dadi wong pinter sing murakabi tumrabing liyan "

    BalasHapus
  2. kulo sanes tole mbah :P
    kulo niku denok mbah =))

    BalasHapus
  3. Pernah ada kawan bertanya kepadaku tentang tujuan pendidikan, dan aku ingat 'piweling sang guru kang nggulang piwulangan luhur' yang intinya adalah supaya aku mampu mendidik diri sendiri dan orang lain agar menjadi 'arif'. eh .... sejauh mana hubungannya dengan kecerdasan ya?!

    BalasHapus
  4. Waduwh, ngetes ki pak :P

    "sejauh mana hubungannya dengan kecerdasan?"
    gak jauh kok hubungannya
    dekat banget
    Gusti Kang Murbeng Dumadi (melu-melu pakai istilah jowo )
    memberikan potensi pada manusia : akal, hati, pendengaran dan penglihatan. Semua akan dimintai pertanggungajwabane
    Bagaimana kita bisa menggunakan potensi itu untuk menjalankan fungsi sebagai kholifah.
    Untuk bisa menjalankan tugas itu, butuh "kearifan"
    Kalau sukses menunaikan amanah itu, baru disebut cerdas :P

    BalasHapus