Kamis, 17 Maret 2011

Pinter, Minteri, Minterke



Bila Anda disuruh memilih ketiga kata di atas, manakah yang akan Anda pilih?
Jadi orang pinter?
Jadi orang yang minteri?
Atau jadi orang yang minterke?
Dalam bahasa Jawa, ketiga kata di atas memiliki satu kesamaan. Yaitu berasal dari satu “tembung lingga” atau kata dasar. Pinter . Pinter artinya pintar. (Mohon maaf, menggunakan bahasa campuran Jawa. Pingin sekaligus mengingatkan kembali betapa bangsa kita kaya bahasa, tak perlu banyak-banyak menyerap bahasa asing ) Sedangkan dalam bahasa Jawa, minteri berarti menggunakan kepintaran, agar mendapat keuntungan dari orang lain. Lalu apa arti minterke? Minterke berarti menjadikan orang lain agar pintar. Menurut saya, dari ketiga kata tersebut memiliki tingkatan nilai. Dan saya rasa, minterke berada pada tingkatan yang paling tinggi. Kenapa? Karena orang yang minterke berarti dia memiliki sumber kekayaan abadi. Dia menjadikan orang lain pintar. Ilmu tak sekadar bermanfaat bagi dirinya sendiri, tapi bermanfaat bagi orang lain, bagi orang banyak. Ilmu yang diberikan tak akan pernah berkurang, namun justru semakin bertambah. Begitu sunnatullohnya. Dan orang yang mendapatkan ilmu darinya (yang dipinterke) juga tidak akan merasa rugi bahkan mendapatkan keuntungan.

Sekarang kita bandingkan dengan orang yang minteri. Orang yang minteri, adalah orang yang memiliki kepinteran, tapi ia memanfaatkan kelemahan orang lain dan mengambil keuntungan dengan kepinterane (baca : kelicikan). Satu untung, satu rugi

Tak semua orang yang pintar minteri, tak setiap orang pinter minterke. Itu pilihan. Mau menjadi orang yang seperti apa. Setiap orang Allah karuniakan akal, pendengaran dan penglihatan. Itu adalah modal baginya untuk menjadi pinter. Ingin berhenti jadi orang pinterkah, atau ingin mengembangkan diri menjadi orang yang minteri? Atau jadi orang pinter yang bisa minterke?

Saya pikir, orang yang pinter tulen, tentu akan memilih menjadi orang yang pinter dan minterke. Karena dengan demikian ilmunya akan terus berkembang. Pahala akan terus mengalir sekalipun sudah mati. Bayangkan seandainya orang yang dipinterke masih melanjutkan minterke orang.........Wuihhhhhhhhh senengnya.....Kalau orang yang minteri mungkin hanya dapat keuntungan sesaat. Tatkala yang dipinteri klenger alias lengah karena diperdaya oleh kepinteran (baca : kelicikan). Dan belum tentu pula strategi minteri-nya berhasil memperdaya orang lain. RUGI!!!!

Saya yakin, orang yang pinter tulen sependapat dengan adanya amal jariyah dari ilmu yang bermanfaat yang ditularkannya. Namun sayangnya, tak semua orang pinter berhasil minterke. Dia pinter, tapi orang yang diajarinya, dididiknya tak jadi pinter, malah jadi klenger juga. Jadi buyer. Kok bisa? Ya bisa. Bukankah kita sering, ya minimal mendengarlah. Cerita tentang guru yang begitu hebatnya menulis beragam buku pelajaran tapi muridnya gak mudeng bila diajar. Malah puyeng. Atau seorang profesor, yang konon lulusan luar negeri tapi dibenci atau tak disukai mahasiwanya. Entah karena banyak istilah asing yang tak mudah dipahami, atau karena cara mengajarnya yang menjemukan dan bikin ngantuk. Kalau kondisinya seperti ini, bagaimana tentang hitung-hitungan amal jariyah? Apakah jadi lahan investasi abadi? Oke-lah kalau kaya bisa nyumbang tanah untuk diwakafkan. Atau punya anak sholeh-sholehah yang mendoakan orang tuanya. Kalau anaknya tidak sholeh? Tidak mendoakan? Tak ada salahnya bukan, bila kita melirik tentang amal yang satu ini untuk jadi lahan investasi abadi? Bila ya, maka kita pun harus pinter pinter minterke orang bukan? Caranya? Boleh nunggu tulisan selanjutnya. Boleh googling. Ini dulu. :D :D :D .................

2 komentar:

  1. sepakat tentang pinter tulen jeng, tidak 'pinter minteri' dan 'minterke ben pinter minteri' !!!

    BalasHapus
  2. owh iya
    tambah kui berarti
    pinter, minterke kuadrat
    bukan minterke ben pinter minteri
    (ntar dosa jariyah :-ss )

    BalasHapus