This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Senin, 30 Maret 2009

Bukan Murid yang Bodoh , Bukan Guru Yang Pintar

“Mbak….piye yo? Aku wis judheg tenan je” kata seorang Ibu Guru
(Mbak, bagaimana ya, saya sudah pusing sekali)
“Apa karena saya guru yang bodoh. Kok murid-murid tidak paham pelajaran perkalian?”
“Bukan begitu bu……mungkin anak-anak butuh nuansa yang baru. Butuh kreatifitas Bu. Apa yang bisa saya Bantu? Mungkin membuat media pembelajaran yang memudahkan anak-anak untuk belajar. Nanti saya bantu bu……Insya Allah” kataku meyakinkan beliau.

Begitulah percakapan yang serupa sering terjadi antara saya dan beberapa guru di MI Giriloyo 1. Kalau saya pikir, saya jauh sekali kemampuan dan pengalamannya dibandingkan Bapak Ibu guru yang lain dalam hal mengajar. Tapi kami sering berbagi cerita di sekolah. Ada rasa tidak percaya diri. Namun justru muncul motivasi bagi saya untuk banyak menggali ilmu, karena saya lebih muda, harus lebih gesit dan kreatif.

Cukup tergelitik juga ketika mendengar kata “Apa karena saya guru yang bodoh?”. Jika ada permasalahan, ada anak yang tak menguasai pelajaran yang disampaikan. Siapakah yang dikatakan bodoh? Anak atau Guru? Mungkin bisa saja kita mengatakan bahwa anaklah yang bodoh. Dan tak jarang pula mendengar sanjungan ketika anak didiknya berprestasi, lantas mengatakan bahwa gurunya yang pintar.

Saya masih teringat kata-kata bahwa tak ada anak yang bodoh, yang ada adalah anak dengan kemampuan yang berbeda. Justru dari sini memunculkan inspirasi bagi saya, bahwa tidak semua anak dapat saya perlakukan sama dalam hal mengajarkan ilmu di sekolah. Ada nilai seni. Adakalanya dibutuhkan perlakuan tertentu pada beberapa siswa. Untuk memahamkan sesuatu yang sama, bisa jadi saya membutuhkan beberapa cara untuk menjelaskan kepada para murid.

Lantas bagaimana dengan anggapan bahwa prestasi anak didik karena guru yang pintar. Apakah demikian? Jujur saja, ada perasaan gembira ketika dikatakan guru yang pandai karena anak didiknya meraih juara. Dari 5 siswa meraih juara 1 sampai 4 berturut-turut dalam Lomba Minat dan Budaya Baca yang diadakan Perpustakaan Umum Daerah Kabupaten Bantul. Dari 10 finalis yang diambil 6 juara, MI Giriloyo 1 meraih juara 1 hingga 4 secara berurutan. Namun rasanya tak adil jika mengatakan keberhasilan anak-anak meraih juara karena saya yang pandai. Harus diakui juga bahwa siswa berprestasi karena mereka juga memiliki potensi. Mereka justru yang memiliki andil yang banyak atas keberhasilan mereka sendiri. Guru hanyalah pemantik. Dan saya ingin menjadi pemantik yang berhasil melejitkan potensi mereka.


Untuk Mrs. Z ‘Afiyah,
Mari jadi guru yang terbaik

Sebutir Kelengkeng Untuk Guruku

Menjadi guru tak segampang dalam bayanganku ketika kelas 1 SD. Ternyata menjadi guru ada susahnya juga. Jarak yang harus ditempuh juga membutuhkan energi. Bukan sekadar energi untuk “Sang Kuda Besi”. Tapi energi untuk diri sendiri agar tetap bersemangat. Energi agar rasa penat tak mengalahkan niat.

Mengajar anak-anak SD ternyata juga berbeda dengan mengajar mahasiswa. Mengajar anak SD dibutuhkan kepiawaian tersendiri. Tidak mudah, alias sulit.. Namun bersama kesulitan pasti ada kemudahan. Sungguh, bersama kesulitan ada kemudahan. Kata-kata ini yang sering kutanamkan dalam benakku.


Pada awal-awal pertemuan, anak-anak merasa takut untuk pelajaran. Terlihat dari wajah dan tingkah mereka. Ketika mereka duduk di depan computer, mereka ragu untuk mengikuti instruksi saya. Mereka mengatakan, “Kalau rusak bagaimana?”. Lantas saya jawab, “Kalau computer rusak dapat diperbaiki, tapi jika kalian takut untuk mencoba, untuk belajar, kalian tak akan pandai”. Saya datangi setiap anak yang tak berani menyalakan computer, tak berani memegang mouse. Saya pegang tangan mereka, dan saya letakkan tangan mereka di atas mouse untuk menggunakan mousenya, sembari membisikkan kepada mereka, agar mereka jangan takut untuk mencoba.

Hari demi hari akhirnya anak-anak menjadi ketagihan pelajaran computer. Ada sisi baiknya, mereka senang untuk belajar computer, namun ada hal di luar dugaan juga. Bapak atau Ibu guru yang mengajar sebelum pelajaran computer harus sering mendengar rengekan ataupun protes agar segera pelajaran computer.

Suatu ketika, saya satu hari tidak berangkat ke MI, karena sakit. Pada pagi harinya, saya berangkat meski agak pusing. Ternyata begitu memasuki gerbang, sudah mendengar anak-anak protes, “Mbak, kok kemarin nggak computer tho? Yakiin……………rugi. Pokoknya besok minta ganti” . Tak hanya satu anak yang berkata demikian. Padahal saya belum turun dari motor. Turun dari motor pun masih ada serbuan serupa dari anak yang lain. Subhanallah……

Menjadi manusia pasti tak luput dari dosa, namun di setiap saat senantiasa memohon agar Dia mengampuni dosaku. Mungkin Allah berkenan untuk menghapus dosaku. Saya sakit. Detak jantung tidak beraturan, pusing, demam, mual….tidak enak pokoknya. Hingga berobat ke rumah sakit dan melakukan tes ECG. Semakin tidak karuan rasanya. Jangan-jangan ada penyakit jantung. Praktis selama sakit, tak bisa berangkat mengajar, bahkan hanya berbaring. Istirahat total. Tak tahu apa jadinya besok kalau sudah berangkat. Bakal diprotes semua anak MI.

Ra dinyono ra didugo. Tak disangka, beberapa sms masuk. “Mbak,…mbak Purna sakit apa? Kok tidak masuk ngajar? Cepat sembuh ya mbak?” Sebuah sms dari seorang murid MI. Trenyuh. Terharu. Cukup menyemangatiku. Saya harus segera sembuh. Kasihan anak-anak menantiku.

“Oe…………..!!! Mbak Purna datang. “
“Mbak, sudah sembuh?”
“Mbak…..kemarin gak computer, pokoknya besok minta ganti”
“Hore….Mbak Purna sudah sembuh”

Ya Allah…..saya belum turun dari motor ….Malu….
Turun dari motor, anak-anak mencium tangan saya.
Ya Allah terima kasih ….

Ketika di laboratorium ada dua anak kelas I. Niken dan Faza.
“Mbak,…mbak Purna sakit ya?” , kata Niken
“Alhamdulillah sudah sembuh. ” , jawabku sembari mendekati mereka.
“Wah….kemarin jadi nggak computer “ kata Faza cemberut.
“Iya …maaf ya…..Mbak baru sakit. Tapi sekarang sudah sembuh kok”
“Mbak, mau tak kasih obat?”
“Obata pa?”
“Mau apa tidak?” kata Faza
“Mau. Boleh” jawabku meski penasaran. Obat apa ya?
“Tapi ada syaratnya.” Faza menggandeng tanganku menuju ke Perpustakaan.
Saya hanya terheran-heran. Kedua anak ini mau ngapain? Saya menurut saja.
“Sekarang mbak Purna tutup mata!” kata Niken.
Saya menutup mata.
“Mbak, nanti buka matanya ya?”
Saya anggukan kepala dan mengkikuti saja keinginan anak-anak itu.
Salah satu dari mereka memberikan sesuatu ke tanganku , kemudian menggenggamkan tanganku. Bentuknya bulat. Apa ya? Bisik hatiku.
“Ini obat buat Mbak Purna. Mbak Purna jangan sakit lagi ya….”
“Boleh buka mata belum?” Kataku
“Sudah !”
Kubuka mataku perlahan-lahan. Subhanallah. Sebutir kelengkeng.
Benar-benar terharu. Mungkin ini bahasa cinta mereka. Tak akan kunilai dari ukuran bendanya. Tapi saya yakin, kedua anak kecil ini memberikannya dengan ketulusan.

Sebutir kelengkeng itu kuterima. Terima kasih Nak. Kelengkeng ini manis. Mungkinkah rasa cinta kami kepada kalian semanis sebutir kelengkeng ini? Malu rasanya pada diri ini. Sudahkah diri ini memberikan kepada mereka dengan ketulusan. Setulus cinta mereka?