This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Senin, 21 Maret 2011

Sakaw TI

Menjiplak istilah yang digunakan dalam dunia NAPZA. Sakaw, kondisi seseorang yang sudah kecanduan sesuatu, merasa sakit tak berdaya karena tidak mengkonsumsinya. Dan mungkin kita yang sudah terbiasa menggunakan segala fasilitas efek kemajuan teknologi saat ini bisa kecanduan, hingga sakaw. Merasa tak bisa berbuat apa-apa tatkala akses untuk memanfaat teknologi terhambat. Paling tidak rasa berat menjalani pekerjaan tatkala tak menggunakan teknologi.

Pernah suatu ketika, seorang pegawai Pemda Bantul memberikan beberapa buku sangat tebal pada Pak Bima INSIST. Kira-kira satu buku tebalnya 6 cm, Pak Bima INSIST bertanya “Mas, ada softcopynya tidak?” . Kalau ada, kan praktis Mas, tinggal copy paste saja, tidak berat membawanya.”
Kontan, saya tak bisa menahan tawa. Wah, akhirnya ketularann penyakitku, kecanduan TI.. Kebanyakan berkutat dengan komputer, semua pinginnya ada softcopy. Malas membawa print out. Ingin mencari kata kunci tinggal Edit-Find atau Ctrl + F. Membaca cukup sekilas di sekitar kata yang dicari. Padahal, bisa jadi hanya mendapatkan pemahaman parsial saja, maksudnya pemahaman yang tidak menyeluruh. Mungkin ini juga salah satu efek teknologi informasi, saya jadi menggunakan kata-kata ‘aneh’ . Jadi mohon maaf, bila kata-kata yang saya gunakan aneh. Termasuk ada shortcut emoticon semisal :D, =))

Sejak tahun 1997, saya sudah berkenalan dengan komputer. Tapi mungkin lebih banyak berinteraksi dengannya sekitar tahun 2000. Rata-rata 6-18 jam komputer saya menyala. Rasanya aneh ketika harus “berpisah” dengan komputer atau laptop, plus koneksi internet. Rasanya aneh ketika sehari tak masuk dunia maya.

Sudah tau, tak semua yang bersifat praktis itu baik. Tetap saja ada sisi buruknya. Tatkala tersadarkan, hidup itu nyata. Tak baik selamanya berselancar di dunia maya. Tak segalanya bisa diselesaikan di dunia maya. Adakala harus menghadapi dan menyelesaikan di dunia nyata.

Adanya komputer beserta jaringan internetnya memang membuatku benar-benar kecanduan. Sampai-sampai terbesit, ketika harus mengantar barang ke tempat yang agak jauh, berpikir sekiranya makanan, minuman, pakaian, atau barang apapun ini dapat dibuat jadi benda digital sebagaimana foto digital telah dicipta. Lebih parahnya, hingga tak segera menyambut seruan adzan manakala waktu sholat datang. Menyedikitkan waktu untuk tilawah manakala asyik bercengkerama dengan kawan lama di dunia maya. Rasanya ada yang mengganjal di hati ketika modem tertinggal, tapi tiada mengapa ketika sholat terlambat. Tiada sadar menduakan DIA Yang Menciptakan dan Mengasihi..... Astaghfirullah.
Bukankah bisa jadi telah terjangkit syirik.

Syukur alhamdulillah, tatkala hp modem ditemukan orang, kemudian digunakan orang lain. Belajar berpuasa. Tidak mengakses internet beberapa waktu. Berada di depan komputer hanya untuk mengetik hal-hal yang penting dan bermanfaat. Dan mungkin memang obat yang mujarab. Membuatku tiada begitu risau tatkala modem tertinggal di rumah. Malam tak begadang di dunia maya. Seharian tak membuka kunci rumah mayaku.

Komputer, internet....... memang tak sepenuhnya bisa kutinggalkan. Masih kubutuhkan. Untuk mencari bahan, referensi, membuka luas cakrawala pengetahuan. Komunikasi dengan relasi. Banyak hal positif. Namun memang harus digunakan sebagaimana mestinya. Sesuai porsinya. Agar tak lagi merasa gelisah, tak tenang ketika tak bisa mengakses komputer beserta internetnya. Semoga lebih bijak dan arif memanfaatkan sesuatu untuk kemaslahatan.

Minggu, 20 Maret 2011

Agar Tak Sekadar Pintar

Pintar saja tak cukup. Itu menurut saya. Seperti yang telah saya tulis sebelumnya. Lebih beruntung orang yang bisa “memintarkan”, mencerdaskan. Mungkin tak perlu lagi saya tulis di sini kenapa lebih beruntung orang yang bisa mencerdaskan. Agar beruntung, jangan sekadar pintar. Naikkan kualitas diri agar bisa mencetak orang-orang yang cerdas. Bagaimana caranya? Ajarkan kepintaran kita. Dan tak sekadar mengajarkan saja. Asal kita sampaikan. Tentunya agar lebih BERNILAI, orang yang kita ajari harus bisa paham, bisa mengamalkan bahkan bisa terus menularkan. Bagi seorang guru, berusaha agar muridnya paham, bahkan suatu saat bisa menciptakan karya-karya hebat. Disinilah kita perlu strategi yang jitu, agar apa yang kita sampaikan mudah diterima, mudah dipahami oleh murid .

  • Gunakan Bahasa yang Mudah Dipahami

    ”Tidak kami utus seorang rasul kecuali ia harus menjelaskan dengan bahasa kaumnya”(QS.Ibrahim:4)

    Seorang Rosul, yang memiliki sifat fathonah, diperintahkan untuk menyampaikan dengan bahasa kaumnya. Dengan bahasa yang mudah dipahami oleh kaumnya. Kita memang bukan rosul, tapi kita diperintahkan untuk mengikuti Rosulullah bukan?
    Dalam da’wah ada pula kaidah “ berbicaralah dengan bahasa kaummu”
    Sebagai seorang guru (semua orang yang ingin menularkan ilmu), hendaknya menggunakan bahasa yang mudah dipahami. Mengajar anak-anak seusia SD tentu berbeda dengan mengajar orang dewasa. Selain itu, tiap orang juga berbeda cara dan kemampuan untuk memahaminya. Ketika di suatu kelas, berkumpullah berbagai orang dengan berbagai keadaanya. Maka, kadangkala (sepertinya tidak sekedar kadangkala, tapi sering he he he) kita memperlakukan cara yang berbeda untuk mengajar. Ada yang cepat menangkap apa yang kita maksud hanya dengan sekilas kita menjelaskan. Ada yang mudah memahami manakala kita memberikan analogi atau perumpaan. Ada pula yang harus dengan pelan-pelan, didekati, diberi waktu khusus untuk memahamkan. Maka, kenalilah siapa orang yang kita ajar.
    Mungkin yang kita ajari lebih mudah paham manakala kita sampaikan dengan semangat meledak-ledak. Namun, bisa pula dengan cara yang pelan perlahan-lahan. Tak ada salah, sebagai guru kita terus belajar ilmu komunikasi.


  • Lembutkan Hati

    “Sekiranya engkau bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu.” (Ali ‘Imran:159)


    Tulisan itu ayat dari Al-Qur’an, bukan perkataan saya. Namun kalam dari Pencipta Alam Semesta. Yang Maha Mengetahui akan apa yang Dia cipta.
    Mungkinkah hati yang keras dan kasar mudah menyampaikan ilmunya? Bagaimana bisa, apa yang kita sampaikan didengar, dipahami. Lha wong mereka malah menjauh dari kita. Bukankah Rosulullah SAW telah memberikan contoh, orang yang lembut hati akan mudah berkomunikasi, memahami lawan bicaranya, sekalipun tak menguasai bahasa yang diucapkan. Bukankah anak-anak yang dalam keadaan ceria dan riang akan lebih betah dengan guru yang penyayang? Dan tatkala hati senang, apa yang disampaikan lebih mudah pahami dibandingkan saat hati diliputi ketakutan (karena gurunya seram he he he)?


  • Dekatkan Diri Pada Pemilik Hati

    Rasanya malu sekali tatkala saya ngobrol dengan rekan kuliah malam, seorang Guru yang diamanahi mengajar kelas VI. Banyak sekali kerjaan di sekolah yang beliau lakukan. Apalagi guru kelas VI, membuat beragam media pembelajaran berbasis IT, membuat administrasi sertifikas, tuntutan membuat PTK (Penelitian Tindakan Kelas), dll. Beliau cukupkan diri untuk tidur antara 2-3 jam. Dan dengan entengnya saya komentari “kenapa cuma sebentar pak?”. Beliau menjawab “ Demi anak-anak mbak. Sebagai guru, saya ingin mereka berhasil. Minta sama siapa kalo tidak sama Gusti Allah? Walau di tengah malam, juga akan dilakukan.” Hiksssssssssssss uisin.......... benar-benar malu..... :”>
    Allah Yang Menguasai Hati. Guru tak sekadar mengajar ilmu, tapi juga mendidik. Menasihati anak didik seringkali dibutuhkan. Tepatlah bila mengadu, meminta dibukakan hati agar mudah menerima apa yang kita katakan pada anak didik pada pemilih hati sesungguhnya. Memohonkan kemudahan bagi anak didik kita dalam menuntut ilmu pada Pemilik Hati.
    Seringkali tanpa sadar malah ngomentari si X itu nakale puolllll, si Z ....................
    Astaghfirullah............. kenapa tak mendoakan saja ya. Bukankah da’wah itu tidak pernah dibatasi di dalam masjid. Bukankah di setiap aktivitas dimana kita menyerukan pada kebaikan adalah da’wah? Tak ada salah bahkan memang seharusnya kita memohonkan do’a padaNya untuk kebaikan anak-anak didik kita?
    Mereka tak paham karena mungkin mereka tak mendengar, atau mungkin karena lupa. Mungkin perkataan kita tidak mereka dengar , karena memang tiada berbobot dan tiada berkesan. Berarti bukan kesalahan mereka bukan manakala mereka tak bisa???



Ini hanyalah sekadar corat-coretan cah ngglidig,bukan seorang pakar ahli. Semoga tetap bermanfaat. Tak sekadar untuk guru, dosen yang mengajar di ruangan, tapi untuk siapapun yang ingin berbagi ilmu. Untuk siapapun yang ingin negeri ini maju.Untuk siapapun yang ingin dirinya bermanfaat bagi orang banyak. Untuk siapapun yang tak ingin sekadar pintar, tapi memintarkan, mencerdaskan. Tak sekadar pinter, nanging minterke

Kembali teringat ............
semua orang, guru
semua tempat, sekolah

Kamis, 17 Maret 2011

Pinter, Minteri, Minterke



Bila Anda disuruh memilih ketiga kata di atas, manakah yang akan Anda pilih?
Jadi orang pinter?
Jadi orang yang minteri?
Atau jadi orang yang minterke?
Dalam bahasa Jawa, ketiga kata di atas memiliki satu kesamaan. Yaitu berasal dari satu “tembung lingga” atau kata dasar. Pinter . Pinter artinya pintar. (Mohon maaf, menggunakan bahasa campuran Jawa. Pingin sekaligus mengingatkan kembali betapa bangsa kita kaya bahasa, tak perlu banyak-banyak menyerap bahasa asing ) Sedangkan dalam bahasa Jawa, minteri berarti menggunakan kepintaran, agar mendapat keuntungan dari orang lain. Lalu apa arti minterke? Minterke berarti menjadikan orang lain agar pintar. Menurut saya, dari ketiga kata tersebut memiliki tingkatan nilai. Dan saya rasa, minterke berada pada tingkatan yang paling tinggi. Kenapa? Karena orang yang minterke berarti dia memiliki sumber kekayaan abadi. Dia menjadikan orang lain pintar. Ilmu tak sekadar bermanfaat bagi dirinya sendiri, tapi bermanfaat bagi orang lain, bagi orang banyak. Ilmu yang diberikan tak akan pernah berkurang, namun justru semakin bertambah. Begitu sunnatullohnya. Dan orang yang mendapatkan ilmu darinya (yang dipinterke) juga tidak akan merasa rugi bahkan mendapatkan keuntungan.

Sekarang kita bandingkan dengan orang yang minteri. Orang yang minteri, adalah orang yang memiliki kepinteran, tapi ia memanfaatkan kelemahan orang lain dan mengambil keuntungan dengan kepinterane (baca : kelicikan). Satu untung, satu rugi

Tak semua orang yang pintar minteri, tak setiap orang pinter minterke. Itu pilihan. Mau menjadi orang yang seperti apa. Setiap orang Allah karuniakan akal, pendengaran dan penglihatan. Itu adalah modal baginya untuk menjadi pinter. Ingin berhenti jadi orang pinterkah, atau ingin mengembangkan diri menjadi orang yang minteri? Atau jadi orang pinter yang bisa minterke?

Saya pikir, orang yang pinter tulen, tentu akan memilih menjadi orang yang pinter dan minterke. Karena dengan demikian ilmunya akan terus berkembang. Pahala akan terus mengalir sekalipun sudah mati. Bayangkan seandainya orang yang dipinterke masih melanjutkan minterke orang.........Wuihhhhhhhhh senengnya.....Kalau orang yang minteri mungkin hanya dapat keuntungan sesaat. Tatkala yang dipinteri klenger alias lengah karena diperdaya oleh kepinteran (baca : kelicikan). Dan belum tentu pula strategi minteri-nya berhasil memperdaya orang lain. RUGI!!!!

Saya yakin, orang yang pinter tulen sependapat dengan adanya amal jariyah dari ilmu yang bermanfaat yang ditularkannya. Namun sayangnya, tak semua orang pinter berhasil minterke. Dia pinter, tapi orang yang diajarinya, dididiknya tak jadi pinter, malah jadi klenger juga. Jadi buyer. Kok bisa? Ya bisa. Bukankah kita sering, ya minimal mendengarlah. Cerita tentang guru yang begitu hebatnya menulis beragam buku pelajaran tapi muridnya gak mudeng bila diajar. Malah puyeng. Atau seorang profesor, yang konon lulusan luar negeri tapi dibenci atau tak disukai mahasiwanya. Entah karena banyak istilah asing yang tak mudah dipahami, atau karena cara mengajarnya yang menjemukan dan bikin ngantuk. Kalau kondisinya seperti ini, bagaimana tentang hitung-hitungan amal jariyah? Apakah jadi lahan investasi abadi? Oke-lah kalau kaya bisa nyumbang tanah untuk diwakafkan. Atau punya anak sholeh-sholehah yang mendoakan orang tuanya. Kalau anaknya tidak sholeh? Tidak mendoakan? Tak ada salahnya bukan, bila kita melirik tentang amal yang satu ini untuk jadi lahan investasi abadi? Bila ya, maka kita pun harus pinter pinter minterke orang bukan? Caranya? Boleh nunggu tulisan selanjutnya. Boleh googling. Ini dulu. :D :D :D .................

Minggu, 27 Februari 2011

Prasasti Hutang Budi




Nggonduk. Ada rasa ndongkol di hati. .Kelu di lidah.Semua kata-kata yang santun seolah tersaring,terbendung dalam tenggorokan.Yang lolos saringan justru kata tak santun.Energi yang ada menjadi sebuah energi negatif yang bersatu, kemudian meluap naik ke kepala, menembus ke dalam otak, lalu meluluhlantakan semua tatanan memori tentang kebaikannya.

Akankah semua ingatan tentang kebaikan orang lain kita hapus begitu saja. Hanya karena sepatah kata. Hanya karena hal yang tak menyamankan hati kita? Kala ini ku sadar, tak ingin itu terjadi. Ingin kutulis kebaikan-kebaikan hati. Dari orang tua, saudara, guru, kawan, dan seterusnya. Namun tak akan pernah bisa kutuliskan semuanya. Ada keterbatasan ingatan. Ada ketidakpekaan hati.Ketidaksadaran menerima kebaikan tapi tak merasa.

Mengingat pelajaran sejarah yang pernah didapat. Ada banyak prasasti tentang kebaikan raja yang dipahat di atas batu, menjadi sebuah prasasti. Hingga beratus tahun, bahkan ribuan tahun kemudian masih dikenang. Tapi bila saat ini ingin menulis kebaikan yang didapat dari orang lain, kemudian mengukirnya di atas batu, rasanya kurang efektif dan efisien . He7. Namun yang jelas, terbesit dalam hati. Ingin senantiasa mengingati kebaikan dari orang lain padaku. Dan pastilah, banyak yang belum terbalas. Alias menjadi hutang budi kepada mereka.

Aku bisa membaca dan menulis, atas kebaikan guruku yang mengajariku, mengenalkanku huruf-huruf.Aku bisa berhitung, karena kebaikan guruku yang mengenalkanku angka-angka. Aku bisa membuka luas cakrawala dari dunia maya, karena kebaikan guruku yang mengajariku komputer, mengenalkan tombol enter, hingga internet. Tak hanya satu orang yang mengajariku. Ada banyak. Hingga tak ingat siapa saja yang mengajariku.

Pernah pula ada yang menghibur manakala diri bersedih. Pernah pula ada yang datang menunjukkan manakala tersesat. Pernah pula ada yang mencukupi manakala kekurangan.Dan aku bisa menangis, mengakui sisi kelemahanku. Mengakui masih terselip kebodohan dalam diri, karena ada yang mengajari dan menasehati. Ada hutang budi pada orang lain disini. Dan tulisan inipun tak cukup mewakili banyaknya hutang budi. Tapi setidaknya menjadi pengingat diri. Mengingati banyaknya hutang budi.

Wahai Allah, Dzat Yang Maha Kuasa kami memohon kepadaMu jadikan hati kami senantiasa mengingati kebaikan orang lain pada diri kami. Berusaha membalas kebaikan mereka.Cukupkan lelehan air mata aduan kami kepadaMu, menjadi peluruh amarah kami Dan jangan biarkan ingatan kebaikan orang lain pada diri kami luruh karena amarah ataupun prasangka kami.Duhai Allah Yang Maha Adil, limpahkan kebarokahan dalam hidup, bagi orang-orang yang telah berbuat baik kepada kami
.... Aamiin....


*******************************
“Dan carilah pada apa yang dianugrahkan Allah kepadamu berupa kebahagiaan negeri akhirat, tetapi janganlah kamu melupakan kebahagiaanmu dari kenikmatan duniawai, dan berbuatlah baiklah kepada orang lain sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan dimuka bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan”.QS:28:77
*******************************

Mengeja Kelembutan Hati




Umar bin Khattab : "Kebajikan yang ringan adalah menunjukkan muka berseri-seri dan mengucapkan kata-kata yang lemah lembut."


Ketika siang hari asyik browsing buka kotasantri, ada kutipan itu. Seolah sepele, tapi ternyata tak semudah mengucapkan atau mengetikkan kata-kata itu. Kalau dipikir, senyum kan tinggal menarik otot di sekitar bibir saja kan? Tapi kenapa juga terasa berat dilakukan? Apalagi pada orang yang kita anggap melakukan kesalahan besar pada diri kita. Seolah tak termaafkan. (Memangnya kita tak pernah punya dosa???? Padahal bisa jadi dosa kita lebih besar darinya!!!) Rasanya mungkin berat.

Kelembutan hati, tak sekadar membalas senyum dengan senyum, kebaikan dengan kebaikan. Tapi mampukah kita membalas kedongkolan dengan tetap santun orang yang (menurut kita) membuat dongkol? Tetap santun menjawab dengan kata santun tatkala mendapat tanya?


“Sekiranya engkau bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu.” (Ali ‘Imran:159)

Dapat amanah jadi guru, jadi peluang bagiku untuk belajar. Dari setiap tanya anak didik yang menggelitik, kadang menjengkelkan. Sering timbul jengkel juga. Ketika kemarin pagi melihat seorang muridku kelas 2 menampakkan kesedihan karena merasa lemah, merasa bodoh dan merasa bersalah karena tak bisa menulis. Ughhhhhh rasanya...... ya Allah........ Bagaimana bila aku yang ada pada posisi itu. Merasa lemah dan tak bisa berbuat apa-apa ketika yang lain dengan mudah melakukannya.


Tersadar, tak bisa sembarangan mengeluarkan kemarahan. Tak seharusnya hati ini keras.Seolah tersentak pula, bilamana diri yang diperlakukan keras. Sementara kita berharap mendapatkan tanggapan yang baik dan santun atas setiap tanya kita pada orang lain. Bagaimana bila diri kita yang diacuhkan, atau bahkan keberadaan kita justru tak diharapkan oleh orang lain? Karena diri kita dianggap bikin kejengkelan? Bukankah sakit, menyebalkan?

Teringat ketika Rosulullah memerintahkan kepada sahabat apabila ada orang asing yang datang, maka disuruhlah orang yang paling lembut hatinya untuk menjadi perantara. Agar lebih mudah memahami orang asing tersebut. Tanpa bahasa yang dapat dipahami, tetap bisa memahami orang lain. Kuncinya pada kelembutan hati.

Tutur kata yang lembut, perilaku yang santun, wajah yang berseri-seri menjadi penanda lembutnya hati. Bila Rosulullah mengatakan ini adalah kebajikan yang ringan, mungkinkah kita mampu melakukan kebajikan yang lebih besar, bila ini tak mampu kita lakukan?

Mencoba memahami pelajaran tentang kelembutan hati. Tak semudah ketika belajar membaca susunan dari alphabet yang berderet. Mengeja tiap suku kata, mengucapkan kata demi kata. Tapi yang pasti, harus terus mencoba dan berusaha untuk melembutkan hati kita. Agar dengannya, memudahkan cahaya dari Nya masuk ke dalam hati kita. Menjadi penerang dalam hidup kita.

Ya Allah, sesungguhnya kami memohon dengan nama-nama-Mu yang baik, dan sifat-sifatmu yang tinggi, agar berkenan mengkaruniakan hati-hati yang lembut kepada kami agar (senantiasa) mengingat dan bersyukur kepada-Mu.

Ya Allah, sesungguhnya kami memohon kepada-Mu hati-hati yang tenang untuk mengingat-Mu.
Ya Allah, sesungguhnya kami memohon kepada-Mu lisan-lisan yang senantiasa basah menyebut-Mu.
Ya Allah, sesungguhnya kami memohon kepada-Mu iman yang sempurna, keyakinan yang benar, hati yang khusyuk, ilmu yang bermanfaat, amal shaleh yang diterima di sisi-Mu, wahai Yang Maha Mulia.
Ya Allah, sesungguhnya kami berlindung kepada-Mu dari fitnah-fitnah yang tampak maupun yang tersembunyi.



NB : Teruntuk siapapun, saudari-saudaraku.... menghaturkan maaf atas segala kekasaran kata dan perilaku :)